Kemarin, tepatnya tanggal 18 oktober
2013 tanpa ada rencana sama sekali nyasar (gak juga sih) ke XXI. Awalnya,
pingin datang ke warung barunya temen tapi pas di lokasi bertemu dengan
teman-teman lainya. Ternyata, habis makan mie temen-temen lain mau nonton film.
Aku pikir film-film biasa, eh ternyta film “Dhaup Ageng”. Sebuah film dokumenter “Royal Wedding” ala Keraton
Yogyakarta dimana menjadi tolak ukur, kiblat, pernikahan dengan adat jawa. Film
tersebut menampilkan pernikahan agung GKR Bendara dengan KPH Yudhanegara pada
18 oktober 2011.
Kesan pertama melihat film tersebut
sangat terasa benar unsur-unsur budaya jawa. Mulai dari persiapan pernikahan
hingga pada hari H. Semua orang dengan telaten menyiapkan segala keperluan dan
yang pasti masing-masing menggunakan pakaian khas yang sangat beragam. Ada yang
baju seperti prajurit, memakai blangkon, kebaya, dsb. Apalagi sang mempelai
pria dan wanita terlihat sangat serasi. Ganteng dan cantik, di padu dengan
menggunakan berbagai pakaian adat jawa serta tata rias yang asli (pakem). Paling
menghebohkan, seluruh masyarakat Jogja maupun lain daerah datang langsung buat
menyaksikan perayaan tsb. Sehingga, Jogja terlihat dibanjiri oleh lauatan
manusia.
Tapi, point terpentinya yakni kita
harus tahu filosofi dibalik setiap rangkaian ritual pernikahan. Misalnya ada peningsetan, siraman, midodareni, dulangan, sungkeman, dan masih banyak lagi.
Peningsetan :
mewujudkan dua kesatuan yang ditandai dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin.
Siraman : air dari tujuh sumber mata air yang ditaburi Bungan setaman lalu
oleh kedua orangtua dan bebrapa wakilnya disiramkan kepada sang pengantin. Terakhir
disiram air kendi oleh bapak/ibu sambil berkata niat ingsun ora mecah kendi, nanging mecah pamore anakku wadon. Midodareni : malam melepas lajang oleh
kedua calon pengantin yang dilakukan dirumah pengantin perempuan. Dimana pengantin
pria dipastikan akan hadir dalam akad nikah dan sebagai bukti keluarga calon
pengantin perempuan benar-benar siap melakukan prosesi pernikahan esok harinya.
Dulangan : pengantin putra dan putri
saling menyuapi. Mengandung kiasan laku memadu kasih diantara keduanya. Sungkeman : ungkapan bakti kepada
orangtua, serta mohon do’a restu.
Sayangnya dalam film ini pun tidak di
tayangkan semua tahap demi tahap dari awal sampai akhir proses pernikahannya. Hanya
ditampillkan ritual-ritual yang pakem saja. Dan paling disayangkan gak
diputerin lagu Kebogiro yang bikin merinding tiap orang. Plus durasinya kurang
panjang!!
Finally, it’s great to know own culture. Satu lagi,
jadi pingin tahu lebih dalam segala budaya yang ada di negeri ini :)




