Minggu, 01 September 2013

Menguak Dusta Greenpeace

Greenpeace. You know Greenpeace? Ya, Sebuah organisasi lingkungan global yang berdiri di Kanada tahun 1971 silam. Awalnya, mereka mengusung misi pelestarian lingkungan hidup. Namun, sejak 1980-an organisasi ini mulai membelokkan arah gerakannya. Banyak kalangan menilai para aktivisnya tidak lagi menjalankan misinya namun ditunggangi oleh kepentingan lain. Terlebih ketika mendirikan kantornya di Jepang 1989. Kehadirannya di Asia disinyalir untuk menekan Negara-negara berkembang, khususnya Indonesia dan Filipina.

Kampanye yang bersifat menekan pun mulai gencar dilakukan sejak tahun 2000  an. Menurut kalangan pengamat, kampanye yang dilakukan bergeser pada kepentingan politik. Pemicunya berupa persaingan bisnis yang terjadi antara Negara berkembang dan Negara maju di Eropa dan Amerika.

Kedok Greenpeace mulai  terungkap setelah mantan direkturnya yaitu Patrick Moore melemparkan kritik tajam yang di muat dalam artikel “why I left Greenpeace”. Ia mengatakan, Greenpeace lebih mengedepankan kepentingan politik daripada objektivitas berbasis ilmiah. Misalnya, mengkampanyekan larangan penggunaan klorin di seluruh dunia. Padahal, ilmu pengetahuan membuktikan klorin penting untuk kesehatan dan tidak ada resiko kesehatan yang ditimbulkan.

Kampanye itu pun gagal dan ia memiliki target baru yang disebut ftalat. Sebuah senyawa yang membuat plastik menjadi lentur. Bahan ini telah digunakan dalam produk sehari-hari selama puluhan tahun dan lagi-lagi tidak terbukti merugikan manusia. Namun demikian, kampanye yang mengabaikan sains telah menekan berbagai perusahaan dan masyarakat untuk menolak penggunaan zat tersebut. Toko-toko sepertu Wal-Mart dan Toys R beralih bebas ftalat untuk menghindari tekanan publik.

Moore juga mengatakan, kampanye yang menakut-nakuti dapat mengalihkan perhatian publik dari masalah lingkungan yang sebenarnya. Kita semua bertanggungjawab menjadi penjaga lingkungan. Namun tanggungjawab tersebut memerlukan dukungan dan bukti ilmiah, bukan hanya menuruti agenda si pembuat kampanye yang disinyalir berlatar belakang pebisnis.

Di Indonesia, Greenpeace juga melakukan tekanan dengan mendesak pemerintah Indonesia membatalkan rencana pembangunan PLTU bertenaga batubara. Alasanya, “ polusi udara dari pembakaran batubara merusak mata pencaharian, menurunkan panen dan memberi dampak buruk pada tangkapan ikan. Batubara merupakan kutukuan bagi masyarakat sekitar tambang batubara dan dibawah bayang-bayang PLTU bertenaga batubara. Membakar batubara  juga mempercepat perbuahan iklim. Indonesia termasuk Negara paling rentan dalam menghadapi perubahan iklim, “ kata juru kampanye Greenpeace.

Anehnya, banyak Negara maju seperti Jepang, Korea, negara-negara Eropa dan Amerika juga menggunakan batubara Indonesia tetapi tidak pernah ada laporan atau info seperti yang disampaikan Greenpeace. Karenanya, Dirut PLN Dahlan Iskan merasa adanya “tebang pilih”. Dia mendesak agar tidak hanya Indonesia yang dilarang tapi serentak di seluruh dunia.

Selain di sektor pembangunan, Greenpeace juga menekan Indonesia di sektor lain yakni dengan dalih merusak hutan. Greenpeace berteriak-teriak di luar negeri untuk meminta agar perusahaan asing (KFC, Carrefour,dll) memboikot produk kertas asal Indonesia. Sedemikian berani ‘mendikte’ pemerintah dan terus-menerus berteriak ini salah, itu salah tanpa memberikan solusi.

Anehnya lagi, Greenpeace belum pernah sekalipun memprotes Freeport yang nyata-nyata telah merusak lingkungan di Papua. Begitupun dengan Amerika dan Uni Eropa yang enggan menurunkan emisi di negaranya. Greenpeace telah bungkam.

Menurut Ian Lifshitz (kolumnis AS), apa yang dilakukan Greenpeace tidak terlepas dari semakin ketatnya persaingan global di bidang bisnis hasil pertanian dan kehutanan. Dan bukan rahasia lagi jika NGO itu mendapatkan dana dari sejumlah korporasi. Pernyataan ini di dukung badan organisasi pangan dunia (FAO) yang menyatakan banyak Negara termasuk Indonesia yang mengembangakan produk kehutanan dengan berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Namun hal itu terabaikan. Bahkan, kini semakin banyak peraturan pasar yang didorong atas inisiatif korporasi, bukan oleh pemerintah, misalnya WTO.

Ketua asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan curiga adanya “udang dibalik batu” pada sikap Greenpeace. Dia curiga pengusaha asing  yang produknya kalah bersaing dengan produk Indonesia memanfaatkan LSM Greenpeace untuk melakukan kampanye hitam guna menjatuhkan produk dalam negeri dengan dalih kelestarian lingkungan terancam.

Pesatnya perkembangan industri minyak sawit di Negara-negara Asia, terutama Indonesia, dianggap sebagai kompetitor berbahaya bagi bisnis minyak jagung, minyak kedelai, dan minyak nabati lain yang diproduksi Negara maju. Dalam kampanyenya, Greenpeace menyatakan ekspansi kelapa sawit dan pulp and paper menyebabkan perusakan hutan dan lahan gambut Indonesia serta menyebabkan orang hutan terancam punah.

Upaya tersebut berhasil mendapat respon dari Nestle, Unilever, Kraft, dan Burger king untuk menghentikan pasokan minyak sawit dari Indonesia. Bahkan perbankan asing seperti HSBC telah menghentikan kucuran kredit kepada pengusaha sawit nsional juga karena pressure dari Greenpeace.

Kampanye tersebut sebenarnya memang dititipi muatan kepentingan bisnis. Dari statemennya jelas terlihat bahwa pokok persoalannya bukan pada kerusakan hutan, punahnya orang utan atau pemanasan global tapi pada sawitnya. Komoditas ini menjadi sasaran tembak mereka, dengan tujuan agar pemerintah Indonesia menghentikan pengembangan sawit, sehingga tidak bisa bersaing di tingkat global.

Bahkan data yang dijadikan dasar kampanye bukan data hasil penelitian, tapi hanya berupa data investigasi yang sebenarnya sangat subyektif. Investigasi itu tergantung investigatornya, kemana ia mau mengarahkan. Kalau penelitian, tidak bisa diarahkan karena metodologinya jelas dan jauh lebih obyektif. Sehingga
Masih banyak lagi berbagai tudingan yang diarahkan kepada Indonesia. Hal tersebut jelas telah merugikan iklim ekonomi di negeri ini. Tudingan tesebut mau tidak mau akan berdampak pada menurunnya angka ekspor, khusunya ke Negara maju.

Umumnya, Negara-negara yang mempermasalahkan kondisi lingkungan adalah Negara maju. Isu lingkungan kerapkali dijadikan alat oleh Negara maju untuk menekan Negara-negara berkembang. Akibatnya, Negara berkembang selalu menghadapi kendala untuk mengembangkan potensinya.

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun LSM asing yang tidak membawa muatan nilai-nilai aktivitasnya di Indonesia, termasuk Greenpeace. Greenpeace sendiri bisa dikatakan LSM asing yang merupakan invisible devils, setan-setan yang tidak kelihatan dari luar. Keberadaanya perlu diaudit karena ditengarai merugikan kepentingan nasional. Audit tersebut akan membuka secara transparan siapa yang memberikan dana kepada Greenpeace dan apakah donator itu mempunyai kepentingan untuk menjatuhkan citra produk Indonesia.

Terlebih segala kegiatan penelitian apapun yang menyangkut Indonesia, harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan tidak boleh menggunakan indikator luar negeri. Artinya, indikator yang dipakai luar negeri tidak semena-mena langsung diterapkan di negeri ini. Penelitian harus dibantah dengan penelitian.

Sumber : Hidayatullah, S., 2010, Menguak Dusta Dusta Greenpeace. Yayasan silaturahmi wartawan otonomi (SWOT).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar