Greenpeace. You know Greenpeace? Ya, Sebuah
organisasi lingkungan global yang berdiri di Kanada tahun 1971 silam. Awalnya,
mereka mengusung misi pelestarian lingkungan hidup. Namun, sejak 1980-an
organisasi ini mulai membelokkan arah gerakannya. Banyak kalangan menilai para
aktivisnya tidak lagi menjalankan misinya namun ditunggangi oleh kepentingan
lain. Terlebih ketika mendirikan kantornya di Jepang 1989. Kehadirannya di Asia
disinyalir untuk menekan Negara-negara berkembang, khususnya Indonesia dan Filipina.
Kampanye yang bersifat menekan pun
mulai gencar dilakukan sejak tahun 2000
an. Menurut kalangan pengamat, kampanye yang dilakukan bergeser pada
kepentingan politik. Pemicunya berupa persaingan bisnis yang terjadi antara
Negara berkembang dan Negara maju di Eropa dan Amerika.
Kedok Greenpeace mulai terungkap setelah mantan direkturnya yaitu
Patrick Moore melemparkan kritik tajam yang di muat dalam artikel “why I left Greenpeace”. Ia mengatakan,
Greenpeace lebih mengedepankan kepentingan politik daripada objektivitas
berbasis ilmiah. Misalnya, mengkampanyekan larangan penggunaan klorin di
seluruh dunia. Padahal, ilmu pengetahuan membuktikan klorin penting untuk
kesehatan dan tidak ada resiko kesehatan yang ditimbulkan.
Kampanye itu pun gagal dan ia
memiliki target baru yang disebut ftalat. Sebuah senyawa yang membuat plastik
menjadi lentur. Bahan ini telah digunakan dalam produk sehari-hari selama
puluhan tahun dan lagi-lagi tidak terbukti merugikan manusia. Namun demikian,
kampanye yang mengabaikan sains telah menekan berbagai perusahaan dan
masyarakat untuk menolak penggunaan zat tersebut. Toko-toko sepertu Wal-Mart
dan Toys R beralih bebas ftalat untuk menghindari tekanan publik.
Moore juga mengatakan, kampanye yang
menakut-nakuti dapat mengalihkan perhatian publik dari masalah lingkungan yang
sebenarnya. Kita semua bertanggungjawab menjadi penjaga lingkungan. Namun tanggungjawab
tersebut memerlukan dukungan dan bukti ilmiah, bukan hanya menuruti agenda si
pembuat kampanye yang disinyalir berlatar belakang pebisnis.
Di Indonesia, Greenpeace juga
melakukan tekanan dengan mendesak pemerintah Indonesia membatalkan rencana
pembangunan PLTU bertenaga batubara. Alasanya, “ polusi udara dari pembakaran
batubara merusak mata pencaharian, menurunkan panen dan memberi dampak buruk
pada tangkapan ikan. Batubara merupakan kutukuan bagi masyarakat sekitar
tambang batubara dan dibawah bayang-bayang PLTU bertenaga batubara. Membakar batubara juga mempercepat perbuahan iklim. Indonesia termasuk
Negara paling rentan dalam menghadapi perubahan iklim, “ kata juru kampanye
Greenpeace.
Anehnya, banyak Negara maju seperti
Jepang, Korea, negara-negara Eropa dan Amerika juga menggunakan batubara Indonesia
tetapi tidak pernah ada laporan atau info seperti yang disampaikan Greenpeace. Karenanya,
Dirut PLN Dahlan Iskan merasa adanya “tebang pilih”. Dia mendesak agar tidak
hanya Indonesia yang dilarang tapi serentak di seluruh dunia.
Selain di sektor pembangunan,
Greenpeace juga menekan Indonesia di sektor lain yakni dengan dalih merusak
hutan. Greenpeace berteriak-teriak di luar negeri untuk meminta agar perusahaan
asing (KFC, Carrefour,dll) memboikot produk kertas asal Indonesia. Sedemikian berani
‘mendikte’ pemerintah dan terus-menerus berteriak ini salah, itu salah tanpa
memberikan solusi.
Anehnya lagi, Greenpeace belum pernah
sekalipun memprotes Freeport yang nyata-nyata telah merusak lingkungan di
Papua. Begitupun dengan Amerika dan Uni Eropa yang enggan menurunkan emisi di
negaranya. Greenpeace telah bungkam.
Menurut Ian Lifshitz (kolumnis AS),
apa yang dilakukan Greenpeace tidak terlepas dari semakin ketatnya persaingan
global di bidang bisnis hasil pertanian dan kehutanan. Dan bukan rahasia lagi
jika NGO itu mendapatkan dana dari sejumlah korporasi. Pernyataan ini di dukung
badan organisasi pangan dunia (FAO) yang menyatakan banyak Negara termasuk Indonesia
yang mengembangakan produk kehutanan dengan berlandaskan pembangunan
berkelanjutan. Namun hal itu terabaikan. Bahkan, kini semakin banyak peraturan
pasar yang didorong atas inisiatif korporasi, bukan oleh pemerintah, misalnya
WTO.
Ketua asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo)
Sofyan curiga adanya “udang dibalik batu” pada sikap Greenpeace. Dia curiga
pengusaha asing yang produknya kalah
bersaing dengan produk Indonesia memanfaatkan LSM Greenpeace untuk melakukan kampanye
hitam guna menjatuhkan produk dalam negeri dengan dalih kelestarian lingkungan
terancam.
Pesatnya perkembangan industri minyak
sawit di Negara-negara Asia, terutama Indonesia, dianggap sebagai kompetitor berbahaya
bagi bisnis minyak jagung, minyak kedelai, dan minyak nabati lain yang
diproduksi Negara maju. Dalam kampanyenya, Greenpeace menyatakan ekspansi
kelapa sawit dan pulp and paper menyebabkan perusakan hutan dan lahan gambut Indonesia
serta menyebabkan orang hutan terancam punah.
Upaya tersebut berhasil mendapat
respon dari Nestle, Unilever, Kraft, dan Burger king untuk menghentikan pasokan
minyak sawit dari Indonesia. Bahkan perbankan asing seperti HSBC telah
menghentikan kucuran kredit kepada pengusaha sawit nsional juga karena pressure dari Greenpeace.
Kampanye tersebut sebenarnya memang
dititipi muatan kepentingan bisnis. Dari statemennya jelas terlihat bahwa pokok
persoalannya bukan pada kerusakan hutan, punahnya orang utan atau pemanasan
global tapi pada sawitnya. Komoditas ini menjadi sasaran tembak mereka, dengan
tujuan agar pemerintah Indonesia menghentikan pengembangan sawit, sehingga
tidak bisa bersaing di tingkat global.
Bahkan data yang dijadikan dasar
kampanye bukan data hasil penelitian, tapi hanya berupa data investigasi yang
sebenarnya sangat subyektif. Investigasi itu tergantung investigatornya, kemana
ia mau mengarahkan. Kalau penelitian, tidak bisa diarahkan karena metodologinya
jelas dan jauh lebih obyektif. Sehingga
Masih banyak lagi berbagai tudingan yang
diarahkan kepada Indonesia. Hal tersebut jelas telah merugikan iklim ekonomi di
negeri ini. Tudingan tesebut mau tidak mau akan berdampak pada menurunnya angka
ekspor, khusunya ke Negara maju.
Umumnya, Negara-negara yang
mempermasalahkan kondisi lingkungan adalah Negara maju. Isu lingkungan
kerapkali dijadikan alat oleh Negara maju untuk menekan Negara-negara
berkembang. Akibatnya, Negara berkembang selalu menghadapi kendala untuk
mengembangkan potensinya.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa
tidak ada satu pun LSM asing yang tidak membawa muatan nilai-nilai aktivitasnya
di Indonesia, termasuk Greenpeace. Greenpeace sendiri bisa dikatakan LSM asing
yang merupakan invisible devils, setan-setan
yang tidak kelihatan dari luar. Keberadaanya perlu diaudit karena ditengarai
merugikan kepentingan nasional. Audit tersebut akan membuka secara transparan
siapa yang memberikan dana kepada Greenpeace dan apakah donator itu mempunyai
kepentingan untuk menjatuhkan citra produk Indonesia.
Terlebih segala kegiatan penelitian
apapun yang menyangkut Indonesia, harus mengikuti peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia dan tidak boleh menggunakan indikator luar negeri. Artinya,
indikator yang dipakai luar negeri tidak semena-mena langsung diterapkan di
negeri ini. Penelitian harus dibantah dengan penelitian.
Sumber : Hidayatullah, S., 2010, Menguak Dusta Dusta Greenpeace. Yayasan silaturahmi wartawan otonomi (SWOT).