Minggu, 18 Agustus 2013

Politik Pendidikan

"Politik Pendidikan"
Paulo Freire


Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata bahwa sebagian besar orang banyak yang menderita dan sebagian kecil justru menikmati jerih payah orang lain dengan cara tidak adil. Sehingga menimbulkan situasi yang disebut Freire “penindasan” yang mana mendustai hakekat keberadaan manusia dengan cara menindas sesamanya. Meskipun kenyataan tersebut selalu terjadi sepanjang sejarah namun bukan berarti menjadi keharusan. Secara dialektis, kenyataan tidak mesti menjadi keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Itulah fitrah manusia sejati. Manusia menjadi bebas atas dirinya sendiri. Itu merupakan tujuan akhir dehumanisasi Paulo Freire.

Berangkat dari hal tersebut, Freire kemudian merumuskan gagasan tentang hakekat pendidikan. Menurutnya, pendidikan selama ini diibaratkan seperti “bank”. Anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposite. Investornya adalah para guru yang mapan dan berkuasa. Depositornya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan. Anak didikpun diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi dan akan dipetik kelak. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. 

Salah satu contoh pendidikan “gaya bank” : guru berfikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa,dsb. System pendidikan tersebut akhirnya menyebabkan manusia tercabut dari realitas dirinya sendiri, karena ia telah menjadi seperti orang lain bukan menjadi dirinya sendiri. 

Manusia hanya menjadi penonton bukan pencipta, sehingga meskipun ada revolusi paling revolusionerpun tetapi digerakan oleh orang-orang dengan system pendidikan yang sama maka hanya akan menggantikan symbol-simbol dan mitos-mitos lama. Kemudian, Freire menciptakan suatu formulasi filsafat pendidikan yang dinamakan “pendidikan kaum tertindas” yakni untuk pembebasan bukan untuk penguasaan. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan secara metodologis bertumpu pada prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.

Prinsip “praxis” menjadi kerangka dasar system dan metodologi pendidikan Freire. Setiap waktu, pendidikan ini merangsang kearah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan tersebut direfleksikan kembali dan refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya. Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain. Guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, sebaliknya.

Kemudian, langkah awal pendidikan Freire yakni proses penyadaran yang terus-menerus.  Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang tersebut masuk dalam proses pengertian bukan menghafal semata. Orang mengerti bukan orang yang menghafal, karena ia menyatakan sesuatu berdasarkan “kesadaran”, sedangkan orang menghafal, mengatakan sesuatu secara mekanis tanpa perlu sadar apa yang dikatakanya, darimana dan untuk apa ia menyatakan hal tersebut. 

Pengalaman dan dialog dengan petani miskin, Freire menyusun konsep pendidikan melek huruf menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok”. Konsep ini terdiri dari tiga tahapan : tahap kodifikasi dan dekodifikasi (melalui gambar, cerita rakyat, dll), tahap diskusi kultural (satuan kelompok kerja kecil yang problematis dengan menggunakan kata-kata kunci), dan tahap aksi kultural (tindakan praksis dimana setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas).

Dalam pendidikan humanis, kita otomatis mengetahui dengan pasti kapasitas kita untuk mengetahui atau mencptakan ilmu pengetahuan baru. Selain itu, kita mengapresiasi apa yang masih belum diketahui. Ilmu pengetahuan saat ini dipelajari banyak orang, dulunya juga berasal dari semangat ini yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru. Pendidikan humanis memberikan kebebasan luas untuk berfikir kritis, semakin banyak kritik yang dilontarkan,, kelompok dominan akan semakin memperketat penjagaan terhadap keamanan dirinya. Semuanya harus diberangus tanpa kecuali, karena setiap perkecualian mempunyai kemungkinan manjadi ancaman bagi kesucian struktur sosial yang sudah terbangun rapi. 

Salah satu penghalang kekritisan manusia adalah mistifikasi yakni adanya kontradiksi antara aksi dan pilihan hidup kebanyakan orang. Misalnya, banyak dosen yang melakukan analisis bagaimana sampai terjadi penindasan namun mereka justru terus-menerus menahan mahasiswa dengan cara represif. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar